Jakarta, 30 Juni 2006
Sudah tiga hari aku pulang kembali ke Jakarta. Selama seminggu penuh, aku melakukan perjalanan ke Kupang – Flores.
Walaupun sudah tiga hari pulang, ada satu peristiwa yang belum bisa hilang dari benakku sampai sekarang......
Bayang-bayang anak-anak Timur sering sekali muncul tanpa aku undang. Membuatku selalu miris....sedih.......
Anak-anak di daerah terpencil.....
Begitu ceria......tapi juga begitu dekil....
Aku senang melihat tawa mereka yang lepas dan polos. Rasa-rasanya, mereka sangat jujur dengan perasaan mereka....
Saking jujurnya, mereka sampai tak mampu (atau tak mau…?) menyembunyikan rasa “nafsu” mereka saat melihat makanan.
Ini yang membuat saya sedih (dan sedikit menyesal karena tidak membawa banyak makanan untuk bocah-bocah kurus itu).
Di sebuah desa pengungsian ex.warga Timor Leste di Kupang, aku mendatangi sebuah keluarga yang mempunyai anak balita cacat tanpa tangan dan berkelamin ganda. Keluarga Simatupang namanya (kepala keluarga asli Sumatra).
Di tempat pengungsian yang sangat sederhana itu, banyak anak kecil mengerubungiku. Awalnya aku terganggu dengan kehadiaran mereka. Bau badan mereka anyir. Semakin membuat sesak udara di rumah sempit bantuan pemerintah Indonesia itu.
Aku lalu mengeluarkan satu plastik hitam berisi kue-kue dan roti, sebagai oleh-oleh untuk Aryanto, anak cacat keluarga Simatupang.
Serempak, puluhan pasang mata dari bocah-bocah kecil yang mengerubutiku sejak aku datang, langsung tertuju pada bungkusan yang aku bawa. Tentu saja, mereka langsung mengeluarkan ekspresi “mupeng”, muka pengen. Ingin tahu isinya, dan tentu saja, keinginan terbesar mereka adalah ingin mencicipi sesuatu di dalam tas plastik hitam yang aku bawa.
Bungkusan pun aku buka. Tak ada yang berani maju untuk mengambil. Aku juga tak menawari mereka. Aku hanya menawari Aryanto untuk memakannya (demi kebutuhan kerja sebenarnya – gambar yang dramatis). Aryanto meminta sang ibu utuk membukakan kemasan sebuah roti yang aku bawa. Oleh sang ibu, roti itu kemudian diberikan kepada Aryanto, dalam potongan kecil. Tak lupa, ibu muda yang baru berusia 35 tahun itu membagikan potongan lainnya kepada ke dua kakak Aryanto yang telah menunggu `jatah` di bawah kursi ibunya. Kedua kakak Aryanto berebut mengambil potongan roti dari tangan sang ibu. Puluhan pasang mata bocah-bocah cilik yang ada di rumah itu masih melihat `kesenangan` anak-anak Simatupang mendapatkan roti. Tentu saja melihat dengan wajah memelas. Mungkin sebenarnya mereka ingin mencicipi sedikit, tapi mungkin mereka malu atau takut karena ada aku.
Beberapa saat kemudian, ada satu adegan yang membuatku tercengang. Salah satu anak yang duduk di dekat kedua kakak Aryanto, mengambil potongan roti yang jatuh dari kaki Aryanto (karena tak punya tangan, aryanto memanfaatkan kakinya untuk memegang benda). Roti yang sudah tak layak makan itu (menurutku), langsung dilahapnya, seperti takut akan diminta oleh temannya yang lain.
Menyesal......kenapa aku hanya membawa sedikit makanan.....
Kejadian di Flores lain lagi….
Masih soal anak kecil dan makanan….
Desa Kubit di kabupaten Sikka, Maumere Timur. Belum ada listrik untuk menerangi desa. Penduduk yang mampu, bisa menikmati cahaya lampu dan siaran televisi dengan memanfaatkan genset. Bagi yang tidak mampu, ya...mesti rela hidup remang-remang dengan lampu minyak.
Kedatanganku di desa Kubit malam itu untuk meminta tolong salah satu warga memasakkan Lekun, sebuah makanan tradisional di Maumere Timur. Untung keluarga yang aku datangi punya genset. Tak perlu kerja dalam kegelapan…
Bahan-bahan yang dibutuhkan (seperti pisang dan kelapa) untuk membuat Lekun sudah aku siapkan. Mereka tinggal mengolahnya.
Satu persatu bahan dikeluarkan dari bungkusnya. Sampai tibalah pada pengeluaran kelapa. Dua gadis mulai memarut kelapa tadi. Tak lama, parutan kelapa pun tersedia. Dari kelapa utuh yang aku bawa, masih ada sisa-sisa potongan kelapa yang tak bisa lagi diparut. Mereka tak membuangnya. Walau risih, aku membiarkannya. Bukan aku kan tuan rumahnya.....? rasa risih muncul lebih karena anjing – anjing yang mereka pelihara mulai berdatangan. Mengendus-endus dan mencoba mencuri sisa kelapa parut tadi. Bahkan, aroma kelapa mulai mengundang babi peliharaan mereka.
Aku pikir, semua akan dibersihkan dan dirapikan setelah semua pekerjaan selesai.
Ternyata tidak.
Dalam duduk menunggu adonan matang, gadis itu dengan malu-malu memakan sisa kelapa yang ia parut tadi. Sisa kelapa yang telah diendus anjing dan babi mereka.... mungkin yang mereka lakukan wajar saja, karena mereka memang biasa hidup dengan anjing (seperti aku biasa tidur dengan kucing-kucingku mungkin) dan memakan babi-babi itu.
Setelah gadis itu memakan sisa kelapa, tiba-tiba seorang anak yang sejak tadi menonton, mendatangi gadis pemarut kelapa itu. Bocah cilik itu membisikkan sesuatu di telinga sang gadis. Dengan cepat, gadis belasan tahun itu memberikan sisa parutan kelapa kepada bocah cilik tadi. Begitu potongan kelapa ada dalam genggamannya, sang bocah dengan sangat cepat memasukkan ke dalam mulutnya dan berlari menjauh. Melihat ada yang sukses mendapatkan potongan kelapa, dua bocah lainnya, yang sedari tadi duduk rapi di sekeliling orang-orang yang memasak lekun, langsung meniru keberhasilan temannya. Namun, kali ini, bocah-bocah cilik itu langsung menyambar potongan kelapa itu. Tanpa meminta terlebih dahulu.
Bagiku, potongan kelapa itu hanyalah sampah. Namun ternyata, masih sangat berharga bagi mereka, para bocah di desa Kubit......
Friday, July 28, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment